Kisah “Sikha” Menjadi Penganut Hindu

  • Share

Ketika buku Sikha yang pertama “Perjalananku Menjadi Hindu” terbit, sambutannya luar biasa. Ada beberapa hal yang menjadi sebab. Pertama, ini adalah buku pertama yang ditulis oleh seorang dari agama mayoritas yang bersikap keras terhadap orang yang murtad, yang beralih ke agama minoritas yang sering diproyeksikan secara negatif. Kedua, Sikha menulis pengalamannya, pergulatan batinnya dengan terus terang dan.. berani, menyatakan ketidak-cocokannya dengan keyakinannya sebelumnya. Ketiga, karena berdasarkan pengalaman dan pergulatan batin yang panjang, kisah ini mengalir dari hatinya yang paling dalam. Keempat, bahasanya lugas, langsung dan mudah dipahami.

Tetapi ada juga seorang pembaca bukunya yang kurang puas. Kok masuk Hindudengan cara seperti itu? Artinya kenapa ia masuk Hindu hanya karena pengalaman-pengalaman biasa, seperti menyaksikan orang sembahyang di Tampak Siring, diminta kembali lagi ke Tirta Empul di Tampak Siring, melalui telepon oleh temannya di Kalimantan Timur, karena temannya ini bermimpi didatangi oleh seorang Pendanda yang meminta Sikha untuk kembali lagi ke Tampak Siring. Dan pula karena keinginannya membeli patung Shiva terwujud berkat bantuan seorang temannya sewaktu mahasiswa di fakultas kedokteran Unhas yang sudah lama tidak dijumpainya.

Pembaca ini mengharapkan, Sikha masuk Hindu setelah membaca kitab suci atau berbagai buku tentang agama Hindu. Singkat kata, Sikha masuk Hindu seharusnya melalui pintu intelektual, layaknya seorang terpelajar modern, bukan melalui pintu ”mistik”, yang oleh orang kebanyakan dipandang rendah, karena kebodohannya. Padahal mistik dalam arti sebenarnya merupakan pencapaian tertinggi di dalam kehidupan beragama, yaitu persatuan jiwa dengan Tuhan, yang juga disebut samadi atau anubhawa di dalam agama Hindu. Satu pengalaman yang dicari oleh para filsuf, para yogi dan para maharesi, di dalam agama Hindu; para sufi, para mistikus dari agama lain. Itulah tujuan tertinggi manusia di dalam agama Hindu: Moksha. Manunggaling kawula lan Gusti. Inilah pengalaman mistik tertinggi.

Pengalaman Sikha yang tampak biasa-biasa adalah pengalaman mistik sehari-hari. Dan itu dicapainya setelah Sikha melakukan pencarian secara rasional selama hampir sembilan tahun. Ia pelajari agamanya, Islam, dan agama-agama lain, seperti Protestan, Katolik, Buddha kecuali Hindu. Orang bisa menduga, karena atau ketika ia sudah lelah melakukan pencarian melalui jalan rasional tapi tidak menemukan, maka ia menyerah begitu saja ketika hatinya tersentuh dengan pengalaman-pengalaman keagamaan asing yang tanpa sengaja dijumpainya. Ini bisa benar bisa juga tidak. Kita sering mendengar seorang pemimpin perusahaan setelah mendengar analisa rasional dari stafnya, ia tiba-tiba mengambil keputusan melalui intuisinya. Dan keputusannya tepat.

Intuisi menurut Sarvepalli Radhakrishnan adalah metode tertinggi untuk memperoleh ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan yang lebih tinggi. Ini tidak mengabaikan cara empiris dan rasional, tetapi meliputi keduanya. Karena itu metode intuitif disebut juga wawasan integral adalah metode yang biasa dipergunakan oleh para maharesi Hindu untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang lebih tinggi (para vidya), pengetahuan tentang Tuhan, Jiwa, tentang dunia setelah kematian. Pengetahuan ini tidak bisa diperoleh melalui pengamatan empiris atau rasio. Tetapi rasio tidak dibuang, malahan dipergunakan untuk menjelaskan pengetahuan yang telah diperoleh melalui metode intuitif itu.

Dalam bukunya yang kedua, ”Arti Menjadi Seorang Hindu Bagiku”, Sikha menggunakan rasionya. Apakah artinya menjadi Hindu bagi Sikha? ”Saya Benar-benar Merdeka! Jiwa Saya Bebas!” katanya. “Memangnya selama ini jiwamu tidak bebas?” Untuk pertanyaan ini Sikha akan segera menjawab dengan tegas, ”Ya, selama ini jiwa saya tidak bebas. Jiwa saya terkekang oleh penjara yang tak nampak, penjara yang paling ketat, penjara yang paling sulit ditembus –penjara pikiran saya sendiri.”

”Peralihan saya menjadi Hindu,” katanya lagi, ”betul-betul memerdekakan saya. Membebaskan saya. Doktrin-doktrin yang tertanam kuat selama bertahun-tahun perlahan terhapus oleh pemahaman demi pemahaman dari ajaran Dharma. Kini bekas-bekas kebencian dan kekesalan saya atas doktrin-doktrin semacam: laki-laki adalah pemimpin perempuan, perempuan harus rela dipoligami, perempuan harus menutup aurat karena jika tidak akan menjadi sumber dosa, selain saudara seiman adalah kafir, orang kafir adalah musuh dan seterusnya dan seterusnya – meskipun sebelumnya selalu saya terima dengan seribu satu tanda tanya – sekarang benar-benar telah mampu saya hapuskan.”

Ada dua jenis kebebasan. Kebebasan negatif dan kebebasan positif. Kebebasan negatif adalah apabila kita bebas dari hambatan-hambatan yang datang dari luar. Misalnya dalam kasus Sikha, ia dapat membebaskan dirinya dari lingkungan agama yang mendoktrin dia untuk membenci orang-orang yang berkeyakinan lain. Kebebasan positif artinya seseorang dapat membebaskan dirinya dari hambatan-hambatan yang ada atau yang datang dari dalam dirinya sendiri. Jika doktrin kebencian yang ditanamkan sejak kecil sudah merasuk ke dalam hati, untuk melepaskannya diperlukan upaya jauh lebih sulit. Tetapi keberhasilan untuk membebaskan diri dari penyakit ini memiliki makna yang jauh lebih besar. Sikha memperolah kedua jenis kebebasan ini ketika dia sampai di jalan Dharma.

Dengan menjadi Hindu, Sikha atau siapa saja, otomatis mempunyai kebebasan untuk menentukan hidupnya sendiri. ”Sebagaimana kehendaknya, demikianlah tindakannya, sebagai tindakannya demikianlah manusia jadinya.” Demikian dikatakan oleh Brhadaranyaka Upanisad.

Carl Gustav Jung (1875-1961) ahli psikoanalisa dan murid terkemuka dari Sigmund Freud membahasakan hal ini demikian:

“Kristen Barat mempertimbangkan manusia sepenuhnya tergantung atas belas kasih Tuhan, atau paling tidak atas Gereja sebagai satu-satunya dan berdasarkan perintah Tuhan merupakan instrumen duniawi dari penebusan manusia. Timur (India), bagaimanapun, tetap menekankan bahwa manusia adalah penyebab satu-satunya bagi pengembangannya yang lebih tinggi, karena ia percaya akan “pembebasan diri sendiri.”

”Keangkuhan Barat kita yang berlebihan di hadapan kedalaman wawasan India, ini adalah suatu tanda dari sifat kita yang biadab, yang tidak mempunyai prasangka yang paling terpencil dari kedalaman mereka yang luar biasa dan ketepatan psikologis mereka yang menakjubkan. Kita masih sangat tak berpendidikan sehingga kita benar-benar memerlukan hukum dari luar, dan suatu pemberi pekerjaan (task-master) atau Bapa di surga, untuk menunjukkan kepada kita apa yang baik dan hal yang benar untuk dilakukan. Dan karena kita masih biadab seperti itu, kepercayaan apapun akan sifat manusia nampak kepada kita suatu yang berbahaya dan naturalisme tak etis. Mengapa demikian?”

”Karena di bawah lapisan tipis dari kultur orang barbar, binatang buas yang liar bersembunyi di dalam kesiap-siagaan, dengan berlimpah-limpah membenarkan ketakutannya. Tetapi binatang buas itu tidak dijinakkan dengan menguncinya di dalam sangkar. Tidak ada moralitas tanpa kebebasan. Ketika yang biadab melepaskan binatang buas di dalam dirinya, itu bukan kebebasan tetapi perbudakan. Barbarisme harus pertama ditaklukkan sebelum kebebasan dapat dimenangkan. Ini terjadi, pada prinsipnya, ketika akar dan daya penggerak dasar moralitas dirasakan oleh individual sebagai pembentuk atau bagian melekat dari hakikatnya sendiri dan bukan sebagai pembatasan-pembatasan eksternal.”

Marilah kita perhatikan kata-kata yang digunakan oleh Jung, yang mendalami yoga dan filsafat Hindu, khususnya dalam dua paragraf terakhir: ”Keangkuhan sebagai tanda kebiadaban. Sangat tidak berpendidikan sehingga masih memerlukan hukum dari luar, suatu pemberi tugas atau Bapa di surga, (yang diageni oleh para nabi). Dan karena itu masih biadab. Di bawah lapisan tipis dari budaya orang babar terdapat binatang buas yang siap menerkam, yang ancamanya menimbulkan ketakutan. Binatang buas itu tidak dijinakkan tetap dikunci di dalam sangkar. (Ingat setan dikurung pada satu bulan tertentu dalam satu ibadah agama). Barbarisme atau kebiadaban ini harus ditaklukkan sebelum kebebasan dapat dimenangkan! ”

Berbuat baik karena ancaman ketakutan bukan tindakan moral, karena tidak ada moralitas tanpa kebebasan. Kebebasan tidak ada di dalam ketakutan. Di dalam hukum perdata maupun pidana, pernyataan atau pengakuan yang dibuat di bawah ancaman tidak mengikat. Demikian pula di dalam agama, pernyataan atau pengakuan iman yang dibuat di bawah ancaman pedang atau api neraka bukanlah pengakuan iman yang murni karena tidak keluar dari hati yang bebas. Tetapi banyak orang merasa nyaman dalam keadaan ini. Mereka justru takut tidak dapat berbuat baik, atau tepatnya beribadah dengan baik, tanpa ada bapa atau nabi yang memberi peringatan, dengan ancaman neraka di tangan kanan dan hadiah surga di tangan kiri. Mereka takut berbuat dosa bila tidak ada pembawa berita atau pemberi peringatan dengan kata-kata keras, sambil memegang pecut atau meletakkan pedang di leher mereka. Mereka mirip seekor kuda penarik beban.

Memang ini masih dapat disebut kesadaran, tetapi menurut Lawrence Kohlberg, seorang psikolog dari Universitas Harvard yang melakukan penelitian tentang kesadaran, ini adalah kesadaran pada tingkat pertama, tingkat paling rendah. Kesadaran pada tingkat kanak-kanak, ketika kita disuruh minum susu dengan ancaman kalau menolak ayam hitam kita akan mati. Kanak-kanak di sini tidak dalam arti biologis atau usia, tetapi dalam arti mental dan spiritual. Masih jauh dari tingkat kesadaran dewasa, tingkat keenam di mana kita melakukan sesuatu yang baik, karena tindakan itu sendiri adalah baik. Etika kewajiban menurut Bhagawad Gita. Melakukan persembahan sebagai ucapan terima kasih. Bukan karena merindukan sorga atau menghindari neraka. Ini adalah makna kesadaran yang sebenarnya.

Rasa aman dan nyaman karena ancaman ketakutan atau iming-iming, dari keperluan perut sampai sorga, adalah rasa nyaman semu. Rasa nyaman berbahaya. Karena, menurut Spinoza, tindakan yang dilakukan karena lahir dari rasa takut akan membawa celaka baik kepada si pelaku maupun orang lain. Ketakutan melumpuhkan kemampuan berpikir rasional manusia. Tindakan yang dilakukan karena atau dalam takut adalah tindakan liar emosional dalam kegelapan karena tidak dibimbing oleh cahaya akal buddhi. Orang-orang ini kerjanya hanya mencaci maki dan menyalahkan orang lain.

Bebas dari cengkeraman tuhan yang mengajarkan kebencian dan kekerasan, dan mendisiplinkan manusia dengan ancaman dan rasa takut, tuhan yang merupakan proyeksi dari nafsu kuasa kepala-kepala suku, yang hidup dalam suasana curiga dan perang semua melawan semua, secara terus menerus, seperti keadaan alamiah menurut Thomas Hobbes, dan menemukan Tuhan yang menciptakan semesta dan tetap bersama seluruh ciptaanNya, Tuhan yang bersikap adil, tidak memihak hanya kepada satu kelompok suku, baik berdasarkan darah maupun keyakinan, adalah kebebasan tertinggi.

Sikha beruntung karena dua hal. Pertama, dia pernah mengalami sebagai orang non-Hindu dan mengetahui keyakinannya itu secara cukup mendalam dan merasakan akibat dari keyakinannya itu. Kedua, dia masuk ke dalam agama Hindulangsung ke dalam tattva atau filosofinya. Ia tidak terjebak pada soal-soal kulit yang menyibukkan dan seringkali menjebak orang-orang Hindu asli, misalnya seperti yang berasal dari suku Bali, sehingga mereka tidak punya waktu atau kemauan untuk melangkah lebih dalam. Sehingga yang mereka rasakan adalah beban. Bukan makna sebenarnya sebagai seorang Hindu seperti yang dialami oleh Sikha, yang membuatnya merasa damai.

”Sanatana Dharma ini telah menyejukkan hati saya. Menggemburkan hati saya. Dan menanam benih-benih kasih di sana. Benih yang akan saya pelihara hingga tumbuh subur dan menghasilkan buah yang bermanfaat bagi diri sendiri, alam dan lingkungan saya. Saya merasakan transformasi dalam diri saya setelah saya mengenal Dharma. Menurut saya, dalam kadarnya masing-masing, begitu jugalah yang terjadi pada semua orang. Jadi mari kita sebarkan kedamaian ini ke seluruh dunia.”

Itulah yang dikisahkan oleh Sikha di dalam bukunya ini. Itulah makna sesungguhnya menjadi seorang Hindu!

Jakarta, 14 Agustus 2011

Daftar Isi.

Bagian 1 : Saya Benar-benar Merdeka! Jiwa Saya Bebas!

Bagian 2 : Bertanggung Jawab pada Diri Sendiri. Perbuatan Baik atau Buruk yang Saya Lakukan adalah Tanggung Jawab Saya, dan Tidak Menjadi Tanggung Jawab Orang Lain untuk Menerima Akibatnya

Bagian 3 : Menyadari Bahwa Apapun yang Telah Terjadi, yang Sedang Terjadi dan yang Akan Terjadi Adalah Buah Dari Karma

Bagian 4 : Menyadari Bahwa Setiap Dari Kita Memiliki Peran Dalam Kehidupan Ini dan Saya Berusaha Sebaik-baiknya Menjalankan Peran Saya

Bagian 5 : Tidak Menyesali Masa Lalu, Tidak Mengkhawatirkan Masa Depan,Hidup Dalam Kekinian

Bagian 6 : Menyadari Keberadaan Tuhan di Dalam Diri dan Dalam Segala Sesuatu

Bagian 7 : Mencintai Semua Eksistensi yang Ada, Baik Disebut Makhluk Hidup ataupun Bukan, Baik yang Dapat Diterima Indera ataupun Tidak

Bagian 8 : Berdamai Dengan Diri Sendiri, Dengan Alam, dan Dengan Tuhan

Bagian 9 : Menjalani Hidup Sebagai Sebuah Perjalanan Menuju Tuhan

Bagian 10 : Setiap Orang Bebas Dalam Menentukan Cara Persembahan yang Paling Nyaman Untuknya

Bagian 11 : Merayakan Hidup!

Sumber: Portalhindu.com dan Judul kami rubah agar lebih menarik.

  • Share
Exit mobile version