Kisah Spiritual: Orang Suci di Pasar Mengwi

  • Share

Saya berselancar di dunia maya larut malam begini, berharap mendapat jawaban atas kegelisahan hati tapi ternyata benar, saya ditunjukan sebuah artikel mengharukan dan membuat saya tersadar bahwa apa yang saya pikirkan adalah kekeliruan menyikapi suatu problem kehidupan yang tak seharusnya dibuat gelisah seperti ini. Rumah Dharma Indonesia berbagi cerita untuk kita semua…

Pulau Bali adalah pulau yang suci dan sakral. Kalau mau serius sedikit saja, dimana-mana ada guru kosmik yang membimbing perjalanan spiritual kita. Ini adalah pengalaman saya dalam melakukan perjalanan tirtayatra dan melukat ke sebuah pura di tampaksiring dan di tegalalang, setiap pulangnya saya selalu membawa berkah spiritual. Kadang berkahnya adalah pembersihan dan kadang berkahnya adalah ajaran. Kali ini saya sembahyang, meditasi dan melukat di pura yang ada di tegalalang dan mendapat berkah ajaran yang penting. Ajaran ini tidak selalu datang melalui pesan-pesan kosmik, tapi akan datang dengan sendirinya melalui berbagai cara.

Dalam perjalanan pulang dari pura tersebut kami singgah di Pasar Mengwi, dimana kakak ipar berjualan disana. Ngobrol ini itu dengan kakak ipar dan sahabatnya seorang pedagang lain, sampai akhirnya mereka bercerita tentang salah seorang pedagang disana yang hidupnya penuh kesengsaraan dan ketidak-adilan.

Awalnya dia berpacaran dengan seorang laki-laki bujangan, sampai kemudian hamil. Dari sinilah ketidakadilan dan kesengsaraan dimulai. Setelah hamil dia baru tahu bahwa dia tertipu, karena ternyata laki-laki tersebut sudah punya istri dan anak. Karena keluarganya malu dan tidak mau menerimanya lagi, dia tidak punya pilihan lain kecuali menikah dengan laki-laki tersebut dan menjadi istri kedua.

Kesengsaraan berikutnya datang tidak lama setelah anaknya lahir. Laki-laki tersebut kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Istri pertama-nya pun tidak bekerja. Mau tidak mau dia yang harus bekerja dan mencari uang dengan berjualan di Pasar Mengwi. Karena dia yang sekarang menanggung semua beban kebutuhan hidup keluarga, semua jenis pekerjaan yang menghasilkan uang dia ambil dengan bekerja keras. Hanya dia sendiri yang menanggung beban kebutuhan hidup keluarga, selain dia juga harus melayani berbagai tugas-tugas rumah tangga bagi suaminya.

Ketika anaknya berumur sekitar 5 tahun, dia sudah menjadi pedagang dan berbagai pekerjaan lainnya yang cukup sukses. Dan semua hasilnya digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga [suami, istri pertama dan anak-anak] dan hanya sedikit untuk dirinya sendiri. Ini dijalaninya dengan penuh rasa bakti dan tanpa keluhan.

Kejutan berikutnya kemudian datang dalam hidupnya, suaminya menikah lagi. Ketidakadilan dan kesengsaraan berikutnya dimulai dari sini. Setelah menikah lagi suaminya menindasnya semakin menjadi-jadi. Semua minta dilayani, semua kebutuhan harus ada, kalau tidak suaminya marah dan marah. Tidak hanya itu saja, karena jumlah kamar di rumahnya terbatas, diapun harus sering-sering sekamar dan melihat suaminya [maaf] berhubungan badan dengan istri barunya di depan mata.

Ditambah lagi jumlah keluarga yang bertambah dan beban kebutuhan hidup yang meningkat membuatnya harus bekerja lebih keras lagi. Sehingga dia bekerja, bekerja dan bekerja lebih keras lagi. Hasil kerja kerasnya ternyata berbuah, sampai dalam sehari dia bisa bersih mendapat uang kurang lebih 300 ribu dari berbagai sumber penghasilannya. Dan semua hasilnya tersebut digunakan untuk kebutuhan hidup keluarga [suami, istri pertama, istri ketiga dan anak-anak].

Sesungguhnya mudah mengakhiri semua kesengsaraan dan ketidakdilan ini. Cukup dia minta cerai saja, apalagi penghasilannya sudah sangat mapan.

Pedagang-pedagang lain di Pasar Mengwi banyak yang geregetan melihat kelakuan suaminya atau kasihan melihat ketidakadilan yang dialaminya dan mendorongnya untuk bercerai. Apalagi dia tidak terlalu tua, masih menarik dan masih bisa mencari laki-laki lain yang lebih baik. Tapi dengan polos dia berkata bahwa dia lebih kasihan nanti memikirkan bagaimana nasib anak kandung dan anak tirinya kalau dia bercerai, dibandingkan memikirkan dirinya sendiri.

Ada juga petugas pasar yang geregetan dan menyarankannya “menyewa” laki-laki lain untuk membalas kelakuan suaminya. Tapi dengan tulus dia berkata bahwa dia tidak ingin membalas agar tidak membuat karma buruk dan hanya berharap bahwa kelak anak kandung dan anak tirinya tidak mengalami nasib yang sama dengan dirinya. Karena dia sangat menyayangi baik anak kandung maupun semua anak-anak tirinya.

Bathin saya bergetar mendengar kisah ini. Tambah bergetar lagi ketika bertemu dengan pedagang tersebut. Pancaran dari wajahnya adalah pancaran wajah orang yang tingkat kepasrahan dan kerelaannya sempurna, serta penuh bhakti dan welas asih. Saya terharu dan melakukan namaskara memberi hormat dalam bathin, karena saya telah bertemu dengan orang suci.

Saya jadi ingat kisah seorang guru di India. Ketika masih muda dan masih belajar, suatu ketika pergi ke pasar bersama gurunya. Di pasar tersebut gurunya namaskara memberi hormat kepada seorang pengemis kotor dan hina. Tentu saja dia terheran-heran, kenapa gurunya yang dihormati banyak orang malah namaskara memberi hormat kepada seorang pengemis kotor dan hina. Ketika sampai di ashram gurunya menjelaskan bahwa pengemis itu orang suci. Dengan mata bathin beliau jelas sekali vibrasinya, bahwa pengemis itu memiliki tingkat kepasrahan dan kerelaannya sempurna, serta penuh bhakti dan welas asih. [Kemudian di lain waktu terbukti bahwa pengemis itu menjadi pemberi makan anak-anak terlantar yang ada di pasar].

Pedagang dan pengemis itu tidak pernah mengenakan baju orang suci. Tidak mengenakan baju putih-putih, baju pendeta atau baju seorang yogi. Juga tidak pernah belajar dharma secara mendalam. Tapi jauh di kedalaman bathin mereka, mereka sesungguhnya adalah sadhaka di jalan rahasia, jalan yoga yang tertinggi. Tanpa konsep agama [yang mungkin malah bisa menjadi racun karena membuat seseorang menjadi fanatik], tapi punya dua bekal perjalanan yang penting, yaitu “ke dalam” adalah tingkat kepasrahan dan kerelaan yang sempurna [tetua di Jawa menyebutnya nrimo ing pandum ] dan “keluar” yang muncul hanya bhakti dan welas asih.

Saya membuka kembali sebuah teks kuno di India yang menuliskan, bahwa seseorang bisa mengalami jivan-mukti bahkan ketika mereka sendiri tidak tahu. Praktisi yoga tingkat tinggi pasti tahu bahwa ketika bathin masih sesempit diri ini [ahamkara, ke-aku-an, ego], kita mudah marah, benci, tersinggung, sombong, resah, tidak puas, dsb-nya. Semakin besar egonya maka akan semakin menyakitkan kesengsaraan dan ketidakadilan. Inilah pe-er besar seorang yogi, meruntuhkan ego dan semua bentuk kegelapan bathin.

Bagi orang-orang daiwa sampad [manusia berbathin dewa], kesengsaraan dan ketidakadilan tidak menjadi kutukan kehidupan, tapi menjadi berkah spiritual yang tertinggi yang mengantar mereka menuju kesadaran dan kemahasucian. Pedagang di Pasar Mengwi dan pengemis di India itu tidak pernah belajar yoga. Tapi mereka dapat melenyapkan ego dan kegelapan bathin-nya cukup dengan dua sadhana mendalam, “ke dalam” tingkat kepasrahan dan kerelaan yang sempurna dan “keluar” yang muncul hanya bhakti dan welas asih. Sebagai hasilnya adalah bathin yang seluas ruang.

Mudah bersikap sabar, sejuk dan penuh welas asih disaat kita dihormati, dipercaya dan dihargai oleh orang lain, tapi mereka yang bisa tetap sabar, sejuk dan penuh welas asih disaat disakiti, ditindas dan dibuat sengsara oleh orang, itulah orang yang bathinnya terang dan seluas ruang.

Leluhur kita pernah mewariskan pupuh sinom seperti berikut :

Jenek ring meru sarira
gunakan tubuh ini sebagai meru atau tempat suci
Kastiti Hyang Maha suci
yang disadari oleh orang yang bathinnya sudah suci [bersih]
Mapuspa padma hredaya
bunganya adalah bunga padma [simbolik advaitacitta, bathin yang bebas dari dualitas]
Magenta swaraning sepi
gentanya adalah keheningan bathin
Maganda ya tisnis budi
gandanya adalah kesabaran dan welas asih tanpa syarat
Malepana sila rahayu
lepananya adalah tingkah laku yang indah [tidak membunuh, menyakiti, korupsi, mencuri, menipu, narkoba, mabuk-mabukan, berjudi, dsb-nya]
Mawija menget prakasa
bijanya adalah bathin yang tegar-kokoh [sanggup menahan segala macam penderitaan dengan bathin damai]
Kukusing sad ripu dagdidupan ipun
dengan demikian seluruh sad ripu [enam kegelapan bathin] lenyap
Madipa hidepe galang
bathinnya laksana cahaya terang benderang

Maknanya adalah meru atau tempat suci tidak hanya ada “diluar”, tapi “didalam” juga ada tempat suci. Kita dapat membadankan meru dalam diri. [Pertama] dengan mengurangi penderitaan para mahluk. Artinya selalu penuh welas asih dan penuh kebaikan dengan tingkat kerelaan yang sempurna. Itu semua mengurangi penderitaan para mahluk. Termasuk tidak membalas caci-maki dan hinaan orang lain, tidak balas menyakiti orang yang jahat, dsb-nya. Malah sebaliknya kita memberi lebih, kita membalasnya dengan welas asih dan kebaikan. [Kedua] Semua mahluk memperebutkan kebahagiaan dan lari dari penderitaan, sehingga alam semesta ini tidak seimbang. Kitalah yang menjaga keseimbangan alam semesta dengan mengambil yang jelek-jelek [penghinaan, kesengsaraan, kesusahan, dsb-nya]. Badan, pikiran dan perasaan kita akan menjadi meru [tempat suci] kalau selalu kita jadikan yajna [persembahan] bagi kebahagiaan mahluk lain.

Bagi sebagian orang yang tingkat kesucian bathinnya bagus akan mengerti, inilah bhakti yoga yang tertinggi dan sempurna. Tidak hanya di pura ada mebakti, tapi kesabaran yang tidak terbatas juga adalah mebakti. Tidak hanya di pura ada maturan, tapi kesejukan, kedamaian dan ketenangan bathin juga adalah maturan. Tidak saja di pura ada upakara, tapi welas asih dan kebaikan tanpa syarat juga adalah upakara. Tidak hanya di pura ada meru, tapi tubuhnya sendiri sudah menjadi meru [tempat suci], karena seluruh kehidupannya sudah menjadi bhakti yoga. Inilah jalan “pulang” menuju kesadaran dan kemahasucian yang tertinggi.

Orang suci belum tentu berbaju putih-putih, berbaju yogi, pertapa, pandita, pemangku, guru spiritual, dsb-nya. Orang suci belum tentu orang yang sudah membaca banyak kitab suci. Orang suci adalah orang yang penuh welas asih kepada semua, kebaikan-nya tanpa syarat dan kesabarannya tidak terbatas, walau apapun yang terjadi. Termasuk disaat dirinya mengalami kejadian buruk seperti dihina, dicaci-maki, disakiti, tidak punya uang, kelaparan, sedang sakit, dsb-nya.

Orang suci yang sesungguhnya adalah orang yang sanggup mengolah apa saja menjadi dharma. Leluhur kita menyebutnya sarwa dharma [semuanya dharma]. Dapat mengolah adharma menjadi dharma. Dapat mengolah segala bentuk godaan menjadi jalan pembebasan. Dapat mengolah segala bentuk kesengsaraan dan ketidakadilan menjadi berkah spiritual yang tertinggi yang mengantar mereka menuju kesadaran dan kemahasucian.

Badan, pikiran dan perasaan-nya menyatu menjadi kesucian yang sempurna, karena selalu dijadikan yajna [persembahan] bagi kebahagiaan mahluk lain.
Share dari Rumah Dharma – Hindu Indonesia
Semoga dapat menjadi pencerahan. Astungkara

  • Share
Exit mobile version